Contoh Makalah ! Lapangan Pendidikan Islam ! - Alim Yuparham

Contoh Makalah ! Lapangan Pendidikan Islam !

Berikut dibawah ini Makalah untuk Anda sebagai Contoh dan juga materi yang berjudul Lapangan Pendidikan Islam, dalam Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam. Maaf keyboard Anda tidak dapat menyalin, Namun Anda dapat mengetiknya kembali.

Terima Kasih :v

BAB I

Pendahuluan

 

A.    Latar Belakang Masalah

Lembaga Pendidikan  merupakan wilayah yang sangat luas. Ruang lingkupnya mencakup seluruh pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan, oleh karena itu pendidikan dapat memberikan pengaruh yang paling utama terhadap kemajuan suatu bangsa. Jika pendidikan suatu bangsa itu baik maka akan mempengaruhi kemajuan pada bidang yang lain baik secara cepat maupun lambat.

Lembaga pendidikan yang memainkan perannya di Indonesia jika dilihat dari struktur internal pendidikan Islam serta praktek-praktek pendidikan yang dilaksanakan, ada empat kategori, yaitu pendidikan pondok pesantren, pendidikan madrasah, pendidikan umum, dan pelajaran agama Islam.

Peran lembaga pendidikan sebagai wadah untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi di tengah-tengah masyarakat diharapkan dapat memberikan kontribusi yang handal dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan, maupun sikap positif pada diri siswa. Sejalan dengan hal tersebut peran Guru ataupun Dosen diharapkan dapat memberikan bekal ilmu yang mampu memenuhi tuntutan sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian lembaga pendidikan islam?

2.      Apa saja jenis-jenis lembaga pendidikan islam?

3.      Apa pengertian kurikulum pendidikan islam?

4.      Apa tujuan kurikulum pendidikan agama islam?

 

C.    Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui pngertian lembaga pendidikan islam

2.      Untuk mengetahui jenis-jenis lembaga pendidikan islam

3.      Untuk mengetahui pengertian kurikulum pendidikan islam

4.      Untuk mengetahui tujuan kurikulum pendidikan islam


BAB II

Pembahasan

 

A.    Pengertian Lembaga Pendidikan Islam

Lembaga pendidikan merupakan suatu institusi, media, forum,atau situasi dan kondisi tertentu yang memungkinkan terselenggaranya proses pembelajaran, baik secara terstruktur maupun secara tradisiyang telah diciptakan sebelumnya. Pengertian tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa seluruh proses kehidupan manusia pada dasarnya merupakan kegiatan belajar-mengajar atau pendidikan. Manusia tidak bisa lepas dari kegiatan belajar-mengajar ini. Dengan demikian, belajar dan mengajar sangat penting dalam proses perkembangan seseorang. [1]Dengan demikian, pengajaran dan juga pendidikan bisa tercipta dengan cara membuat tradisi positif bagi peserta didik yang pada hakikatnya semua individu adalah peserta didik. Pemahaman seperti itu juga didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan terjadi atau berlangsung seumur hidup. Apa pun yang dilakukan oleh manusia masuk dalam kategori pendidikan walaupun tidak semuanya bisa dideteksi. Ini seperti yang diungkapkan oleh Dorothy Law Nolte: Children learn what they life (anak belajar dari kehidupan) karena belajar merupakan suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas. Dalam kaitan ini, proses belajar dengan perubahan adalah gejala saling terkait, yakni belajar sebagai proses dan perubahan sebagai bukti.[2]

Ø  Macam-Macam Institusi

  Institusi berarti lembaga, yang dalam hal ini adalah lembaga pendidikan yang sudah lazim kita kenal. Antara lain :

a. Informal

Yaitu pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan dan proses pendidikan yang diperolehnya melalui pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, pada umumnya tidak teratur dan tidak sistematis, sejak seseorang lahir sampai mati seperti di dalam keluarga, tetangga, pekerjaan, hiburan, pasar atau didalam pergaulan sehari-hari. Pendidikan informal yang tertera pada ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 13 : β€œpendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.”

b. Formal

Yaitu pendidikan di sekolah, yang teratur, sistematis dan yang dibagi dalam waktu-waktu tertentu berlangsung dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Pendidikan formal yang tertera pada ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 11 : β€œpendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang trdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.”

c. Nonformal

Yaitu pendidikan luar sekolah yang dilembagakan dimana semua bentuk pendidikan yang diselenggarakannya dengan sengaja, tertib, terarah dan terencana di luar kegiatan persekolahan yang bersifat fungsional dan praktis, serta pendekatannya lebih fleksibel, seperti instansi-istansi pemerintah, kursusu-kursus, rumah-rumah ibadahdan badan-badan masyarakat lainnya serta beberapa media. Pendidikan nonformal yang tertera pada ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 12 : β€œpendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara tersetruktur dan berjenjang.”

Contoh peserta didik dalam pendidikan jenis ini adalah sebagai berikut :

1)      Penduduk usia sekolah yang tidak pernah mendapat kesempatan memasuki sekolah.

2)      Orang dewasa yang tidak pernah sekolah.

3)      Peserta didik yang putus sekolah baik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.

4)      Peserta didik yang telah lulus satu sistem pendidikan sekolah, tetapi tidak dapat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

5)      Orang telah bekerja, tetapi ingin menambah keterampilan lain.

Lembaga pendidikan juga dapat berarti sebuah institusi yang memang sengaja dibentuk untuk keperluan khusus kependidikan dan ada pula lembaga yang memang tanpa disadari telah berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran. Pengertian ini berimplikasi pada pemahaman yang luas tentang lembaga pendidikan sehingga bisa memasukkan segala hal yang bisa mendatangkan nilai positif dalam proses kependidikan dan penyelenggaranya dikatagorikan sebagai lembaga pendidikan. Jamaah pengajian, aktivitas remaja masjid, dan contoh keteladanan seorang ibu dalam keluarga termasuk dalam katagori tersebut.[3]

Dalam bahasa inggris, lembaga disebut institute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian nonfisik disebut dengan pranata.[4]

Secara terminologi, Amir Daiem mendefinisikan lembaga pendidikan dengan orang atau badan yang secara wajar mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan. Rumusan definisi yang dikemukakan Amir Daiem ini memberikan penekanan pada sikap tanggung jawab seseorang terhadap peserta didik, sehingga dalam realisasinya merupakan suatu keharusan yang wajar bukan merupakan keterpaksaan. Definisi lain tentang lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola- pola tingkah laku, peranan-peranan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.

Daud Ali dan Habibah Daud menjelaskan bahwa ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian lembaga, pertama pengertian secara fisik, materil, kongkrit dan kedua pengertian secara non fisik, non materil dan abstrak. Terdapat dua versi pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik menampakkan suatu badan dan sarana yang didalamnya ada beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek non fisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan membantu mencapai tujuan.[5]

Adapun lembaga pendidikan Islam secara terminology dapat diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian kongkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penananggung jawab pendidikan itu sendiri.[6]

B.    Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam

 

Adapun jenis-jenis lembaga Pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

1.   Pendidikan Islam dalam keluarga

Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, β€˜ali, dan nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui keturunan (anak, cucu), perkawinan (suami, istri), persusuan, dan pemerdekaan.204 Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan islam disyaratkan dalam Alquran: β€œHai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.(QS. At-Tahrim: 6).

Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu memiliki kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Ayah berkewajiban mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhaan keluarganya melalui pemanfaatan karunia Allah Swt. di muka bumi (QS. Al-Jumu’ah: 10) dan selanjutnya dinafkahkan pada anak istrinya (QS. Al Baqarah: 228 dan 233). Kewajiban ibu adalah menjaga, memelihara dan mengelola keluarga di rumah suaminya, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya. Dalam sabda Nabi saw. dinyatakan: β€œDan perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanyai dari pimpinannya itu” (HR. Bukhari-Muslim).[7]

Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan keluarga dapat mencetak anak agar mempunyai kepribadian yang kemudian dapat dikembangkan dalam lembaga-lembaga berikutnya, sehingga wewenang lembagalembaga tersebut tidak diperkenankan mengubah apa yang telah dimilikinya, tetapi cukup dengan mengombinasikan antara pendidikan yang diperoleh dari keluarga dengan pendidikan lembaga tersebut, sehingga masjid, pondok pesantren dan sekolah merupakan tempat peralihan dari pendidikan keluarga.[8]

Secara umum, kewajiban orang tua pada anak-anaknya adalah sebagai berikut:

a.      Mendo’akan anak-anaknya dengan do’a yang baik. (QS. al- Furqan: 74)

b.      Memelihara anak dari api neraka. (QS. at-Tahrim: 6).

c.       Menyerukan shalat pada anaknya. (QS. Thaha: 132).

d.      Menciptakan kedamaian dalam rumah tangga. (QS. an- Nisa’: 128)

e.      Mencintai dan menyayangi anak-anaknya. (QS. ali Imran: 140)

f.        Bersikap hati-hati terhadap anak-anaknya. (QS. al- Taghabun: 14)

g.      Mencari nafkah yang halal. (QS. al-Baqarah: 233)

h.      Mendidik anak agar berbakti pada bapak-ibu (QS. an- Nisa’: 36, al-An’am: 151, al-Isra’: 23) dengan cara mendo’akannya yang baik.

i.        Memberi air susu sampai 2 tahun. (QS. al-Baqarah: 233)

Peranan para orang tua sebagai pendidik adalah:

1.      korektor, yaitu bagi perbuatan yang baik dan yang buruk agar anak memiliki kemampuan memilih yang terbaik bagi kehidupannya;

2.      inspirator, yaitu yang memberikan ide-ide positif bagi pengembangan kreativitas anak;

3.      informator, yaitu memberikan ragam informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan kepada anak agar ilmu pengetahuan anak didik semakin luas dan mendalam;

4.      organisator, yaitu memiliki keampuan mengelola kegiatan pembelajaran anak yang baik dan benar;

5.      motivator, yaitu mendorong anak semakin aktif dan kreatif dalam belajar;

6.      inisiator, yaitu memiliki pencetus gagasan bagi pengembangan dan kemajuan pendidikan anak;

7.      fasilitator, yaitu menyediakan fasilitas pendidikan dan pembelajaran bagi kegiatan belajar anak;

8.      pembimbing, yaitu membimbing dan membina anak ke arah kehidupan yang bermoral, rasional, dan

9.      berkepribadian luhur sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam dan semua norma yang berlaku di masyarakat.[9]

 

2.      Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

               Secara harfiah, masjid adalah β€œtempat untuk bersujud”. Namun, dalam arti terminologi, masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas. Dalam bahasa Indonesia, masjid diartikan rumah tempat bersembahyang bagi orang Islam. Di dalam bahasa inggris, kata masjid merupakan terjemahan dari kata mosque.[10]

               Pendidikan Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan di masjid sebagai lembaga pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan sutau lingkaran (lembaga) dan ditumbuhkannya. Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi saw. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya, masjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan, dan pusat pemukiman, serta sebagai tempat ibadah dan I’tikaf.[11]

               Al-β€˜Abdi menyatakan bahwa masjid merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan. Dengan menjadikan lembaga pendidikan dalam masjid, akan terlihat hidupnya Sunnah-sunnah Islam, menghilangkan segala bid’ah, mengembangkan hukum-hukum Tuhan, serta menghilangnya stratifikasi status sosial-ekonomi dalam pendidikan. Karena itu, masjid merupakan lembaga kedua setelah lembaga pendidikan keluarga.[12]

               Fungsi masjid dapat lebih efektif bila di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas yang diperlukan adalah sebagai berikut:

(1)    Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan.

(2)    Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum dan sesudah shalat jamaah. Program inilah yang dikenal dengan istilah β€œI’tikaf ilmiah”.

(3)    Ruang kuliah, baik digunakan untuk traning (tadrib) remaja masjid, atau juga untuk Madrasah Diniyah. Omar Amin Hoesin memberi istilah ruang kuliah tersebut dengan Sekolah Masjid. Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya lebih minim dibandingkan dengan proporsi materi umum.

(4)   Apabila memungkinkan, teknik khotbah dapat diubah dengan teknik komunikasi transaksi, yakni antara khatib dengan para audien, terjadi dialog aktif satu sama lain, sehingga situasi dalam khotbah menjadi semakin aktif dan tidak monoton. Teknik dialog (hiwar) dapat diterapkan dalam khotbah Jumat manakala memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.      Syarat dan rukun khotbah masih diberlakukan.

b.      Jamaah shalat rata-rata terdiri dari kaum intelektual atau kaum cendikiawan, sehingga hanya memungkinkan di masjid perkotaan, pesantren dan masjid kampus.

c.       Diperlukan khatib (moderator) yang berwibawa, alim, dan professional, sehingga ia dapat mengarahkan jalannya diskusi dalam situasi khotbah dengan baik.

d.      Perlu adanya perencanaan yang matang, sehingga jauhjauh sebelumnya para audien sudah siap terlibat langsung.

e.      Masalah yang dibahas harus masalah yang waqiyah, yakni masalah-masalah kontemporer yang sedang hangat menimpa umat.

               Menurut Abuddin Nata, terdapat dua peran yang dilakukan oleh masjid. Pertama, peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dan nonformal. Peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat dilihat dari segi fungsinya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, shalat Idul Fitri, Idul Adha, berzikir dan berdo’a. Pada semua kegiatan ibadah tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual yang amat dalam. Adapun peran masjid sebagai lembaga pendidikan nonformal dapat terlihat dari sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqoh (lingkaran studi) yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya.

               Kegiatan tersebut berlangsung mengalir sedemikian rupa, tanpa sebuah aturan formal yang tertulis dan mengikat secara kaku. Kedua, peran masjid sebagai lembaga pendidikan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentinagan masyarakat dapat dipelajari di masjid dengan cara melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang bersiafat amaliah. Mereka yang banyak terlibat dan aktif dalam berbagai kegiatan di masjid akan memiliki bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian dalam melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan kepemimpinan.[13]

 

3.      Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

               Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu β€œkuttab” (pondok pesantren). Kuttab, dengan karateristik khasnya, merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah (sistem wetonan). Pada tahap berikutnya kuttab mengalami perkembangan pesat karena didukung oleh dana dari iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan peserta didik.[14]

               Di Indonesia, istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah β€œpondok pesantren” yaitu suatu lemabaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pemondokon atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.

               Menurut para ahli pesantren baru dapat disebut pesantren bila memenuhi lima syarat, yaitu: (1) ada kiai, (2) ada pondok, (3) ada masjid, (4) ada santri, (5) ada pelajaran membaca kitab kuning.[15]

Tujuan terbentuknya pondok pesantren :

Β·   Tujuan umum, yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam, yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam  masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya,

Β·   Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan mendakwahkannya dalam masyarakat.

               Sebagai lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan serogan. Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan benndungan, sedangkan di Sumatera digunakan istilah halaqah.[16]

a.      Metode wetonan (halaqah). Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.

b.      Metode serogan. Metode yang santrinya cukup pandai men- sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenari kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.

               Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi Arab, hukuk Islam, sistem yurisprudensi Islam, Hadis, tafsir Alquran, teologi Islam, tasawuf, tarikh, dan retorika. Dan literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah β€œkitab kuning”.[17]

               Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang terdapat, yaitu di dalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka inovasi terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:

Β·         Mulai akrab dengan metodelogi modern.

Β·         Semakin berorientasi pada pendidikan yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.

Β·         Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya dengan kiai tidak absolute, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja

Β·         Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.

               Di pihak lain, pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai. Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:

a.   perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah);

b.   pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab;

c.    bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang islami;

d.   lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.[18]

 

4.        Madrasah Sebagai Lembaga Pendidiakan Islam

               Tidak diketahui secara pasti sejak kapan madrasah sebagai istilah sebutan  untuk satu jenis pendidikan Islam yang digunakan di Indonesia. Untuk menelusuri hal ini agaknya diperlukan penelitian dan studi khusus yang lebih serius. Namun demikian, madrasah sebagai satu system pendidikan Islam ber-kelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non keagamaan sudah tampak sejak awal abad 20. Meskipun sebagian diantara lembaga-lembaga pendidikan itu menggunakan istilah school (sekolah), tetapi dilihat dari system pendidikannya yang terpadu, lembaga pendidikan seperti itu bisa dikategorikan dalam bentuk madrasah.

               Paling tidak ada dua faktor yang melatar belakangi kumunculan madrasah yaitu: pertama, adanya pandangan yang mengatakan bahwa system pendidikan Islam tradisonal dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat; kedua, adanya kekhawatiran atas cepatnya perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekularisme, maka masyarakat Muslim – terutama para reformist – berusaha melakukan reformasi melalui upaya pengembangan pendidikan dan pemberdayaan madrasah.

               Perpaduan antara system pada pondok pesantren atau pendidikan langgar dengan sitem pendidikan yang berlaku pada sekolah-sekolah modern, merupakan system pendidikan dan pengajaran yang dipergunakan diMadrasah. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dan mengikuti system klasikal. System pengajaran kitab yang selama ini dilakukan, diganti dengan bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama. Sementara itu kenaikan tingkat pun ditentukan oleh penguasaan terhadap sejumlah pelajaran.[19]

Β·         Pengertiaan Madrasah

                    Madrasah merupakan isim makan dari "darasa" yang berarti tempat duduk untuk belajar. Istilah madrasah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama perguruan Islam). [20]Sementara itu Karel A. Steenbrink justru membedakan antara madrasah dan sekolah- sekolah, dia beralasan bahwa antara sekolah dan madrasah mempunyai ciri yang berbeda. Meskipun demikian, dalam konteks ini penulis cenderung untuk menyamakan arti madrasah dengan sekolah. Perkataan Madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, tetapi di Indonesia ditujuakan untuk sekolah-sekolah yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam.

               Di dunia pesantren terkenal adanya unsur-unsur pokok dari suatu pesantren, yaitu kyai, santri, pondok, masjid dan pengajaran mata pelajaran agama Islam. Pada system madrasah tidak harus ada pondok, masjid dan pengajaran kitab-kitab klasik. Unsur-unsur yang diutamkan di madrasah adalah pimpinan, guru, siswa, perangkat kelas, perangkat lunak dan pengajaran mata pelajaran agama Islam.223 Madrasah dan pesantren atau dalam pengkalifikasiannya berbeda pada pesantren pola I dan II, akan tetapi pada pola III,IV dan V sama. Hanya berbeda pada pengelolaan dan penggunaan Asrama bagi santri.[21]

Depatermen Agama RI, merumuskan pengertian madrasah sebagai berikut:

1)      Menurut Peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1946 dan Peraturan Menteri Agama RI No. 7 Tahun 1950, madrasah mengandung makna:

a)      . Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam, menjadi pokok pengajaran.

b)      Pondok dan pesantren yang memberi pendidikan setingkat madrasah.

2)      Menurut Keputusan Bersama Tiga menteri Tahun 1975, menjelaskan pengertian madrasah adalah: Lembaga Pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang- kurangnya 30 % disamping mata pelajaran umum.[22]

               Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, dan PP 28 dan 29 tahun 1990 serta surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Pengajaran No. 0489/U/1992 dan Surat Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 1993, madrasah adalah sekolah yang berciri khas Islam.[23]

               Dari beberapa penjelasan di atas dapat dikemukakan beberapa ciri Madrasah:

Ø  Lembaga pendidikan yang mempunyai tata cara yang sama dengan sekolah

Ø  Mata pelajaran Agama Islam di Madrasah dijadikan mata pelajaran pokok, disamping diberikan mata pelajaran umum.

Ø  Sekolah yang berciri khas agama Islam

               Berdasarkan ungkapan di atas dapat dipahami bahwa system madrasah mirip dengan system sekolah umum di Indonesia. Para siswa tidak mesti tinggal mondok di komplek madrasah, siswa cukup dating ke madrasah pada jam-jam berlangsung pelajaran pada pagi hari maupun sore hari. Demikian juga halnya tidak mesti ada masjid dilingkungan madrasah, kalaupun para siswa bermaksud untuk melaksanakan shalat, mereka cukup melaksanakannya di Mushalla. Pengajian kitab-kitab klasik pun tidak diadakan di Madrasah, kecuali pada madrasah-madrasah jurusan keagamaan. Pelajaran-pelajaran yang akan diajarkan telah tercantum dalam daftar pelajaran yang diuraikan dalam kurikulum .

C.    Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam

              

               Kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu rancangan atau program studi yang berhubungan dengan materi atau pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan, serta bentuk evaluasinya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kurikulum pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh)

               Kurikulum dalam pendidikan Islam, dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka. Selain itu, kurikulum juga dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai pendidikan.

               M. Arifin memandang kurikulum sebagai seluruh bahan pelajaran yang harus disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan.

               S. Nasution menyatakan, ada beberapa penafsiran lain tentang kurikulum. Diantaranya: Pertama, kurikulum sebagai produk (hasil pengembangan kurikulum), Kedua, kurikulum sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari oleh siswa (sikap, keterampilan tertentu), dan Ketiga, kurikulum dipandang sebagai pengalaman siswa.

               Pengertian kurikulum dalam pandangan modern merupakan program pendidikan yang disediakan oleh sekolah yang tidak hanya sebatas bidang studi dan kegiatan belajarnya saja, akan tetapi meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan pribadi siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan sehingga dapat meningkatkan mutu kehidupannya yang pelaksanaannya tidak hanya di sekolah tetapi juga di luar sekolah.

               Sesuai dengan sistem kurikulum nasional bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat antara lain pendidikan agama, tak terkecuali Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan.

               Konsep dasar kurikulum sebenarnya tidak sesederhana itu,tetapi kurikulum dapat diartiakan menurut fungsinya sebagaimana berikut:

1.           Kurikulum sebagai program studi.

2.           Kurikulum sebagai konten.

3.           Kurikulum sebagai kegiatan terencana

4.           Kurikulum sebagai hasil belajar

5.           Kurikulum sebagai reproduksi cultural

6.           Kurikulum sebagai pengalaman belajar

7.           Kurikulum sebagai produksi

               Berdasarkan keterangan di atas, maka kurikulum pendidikan Islam itu merupakan satu komponen pendidikan agama berupa alat untuk mencapai tujuan.Ini bermakna untuk mencapai tujuan pendidikan agama (pendidikan Islam) diperlukan adanya kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam dan menunjang sesuai dengan kebutuhan pendidikan. Maka dibutuhkanlah kurikulum sebagai alat yang memiliki berbagai fungsi (multifungsi) demi terwujudnya finaldestination dari pendidikan itu sendiri.

 

D.    Tujuan Kurikulum Pendidikan Islam

 

               Kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka tujuan pendidikan Islam. Berdasarkan keterangan di atas, maka kurikulum pendidikan Islam itu merupakan satu komponen pendidikan agama berupa alat untuk mencapai tujuan. Ini bermakna untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, diperlukan adanya kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam dan bersesuaian pula dengan tingkat usia, tingkat perkembangan kejiwaan anak dan kemampuan pelajar.

               Kurikulum pendidikan Islam bertujuan menanamkan kepercayaan dalam pemikiran dan hati generasi muda, pemulihan akhlak dan membangunkan jiwa rohani. Ia juga bertujuan untuk memperoleh pengetahuan secara kontinu, gabungan pengetahuan dan kerja, kepercayaan dan akhlak, serta penerapan amalan teori dalam hidup.

               Dan jika dihubungkan dengan filsalafat islam, maka kurikulumnya tentu mesti menyatu (integral) dengan ajaran islam itu sendiri. Tujuan yang akan dicapai kurikulum PAI ialah membentuk anak didik menjadi berakhlak mulia, dalam hubungannya dengan hakikat penciptaan manusia. Sehubungan dengan kurikulum pendidikan islam ini, dalam penafsiran luas, kurikulumnya berisi materi untuk pendidikan seumur hidup (long life education),

sesuai dengan hadits nabi Muhammad SAW.

Ψ§Ψ·Ω„Ψ¨ Ψ§Ω„ΨΉΩ„Ω… Ω…Ω† Ψ§Ω„Ω…Ω‡Ψ―ΩŠ Ψ§Ω„ΩŠ Ψ§Ω„Ω„Ω‡Ψ―ΩŠ

Artinya: β€œTuntutlah ilmu dari buayan hingga keliang kubur”.

               Pendidikan agama islam merupakan usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan. Maka secara garis besar (umum) tujuan pendidikan agama islam ialah untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan siswa terhadap ajaran agama islam, sehingga ia menjadi manusia muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia baik dalam kehidupan pribadi, bermasyrakat, berbangsa dan bernegara.

               Tujuan tersebut tetap berorientasi pada tujuan penyebutan nasional yang terdapat dalam UU RI. No. 20 tahun 2003. selanjutnya tujuan umum PAI diatas dijabarkan pada tujuan masing-masing lembaga pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikan yang ada.

               Selain itu, pendidikan agama islam sebagai sebuah program pembelajaran yang diarahkan untuk:

1.           Menjaga akidah dan ketakwaan peserta didik,

2.           Menjadi landasan untuk lebih rajin mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama,

3.           Mendorong peserta didik untik lebih kritis, kreatif, dan inovatif,

4.           Menjadi landasan prilaku dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat. Dengan demikian bukan hanya mengajarkan pengetahuan secara teori semata tetapi juga untuk dipraktekkan atau diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (membangun etika sosial).


 

BAB III

Penutup

 

A.    Kesimpulan

Dari pemaparan materi diatas kita dapat mengetahui bahwa lembaga pendidikan islam itu adalah suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan islam.

Ada beberapa jenis lembaga pendidikan Islam, misalnya:

1.                  Keluarga adalah lembaga pendididkan pertama yang kita kenal dan yang menjadi pendidik dalam keluarga adalah orang tua.

2.                  Masjid adalah tempat untuk melakukan ibadah, selain itu juga masjid digunakan sebagai tempat belajar (pendidikan).

3.                  Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang mana didalamnya terdapat kiai sebagai pendidik, santri sebagai peserta didik, masjid sebagai tempat untuk melaksanakan pendidikan dan asrama sebagai tempat tinggal santri.

4.                  Madrasah adalah lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan.

Dari tahun ke tahun kurikulum akan terus berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan pemikiran manusia. Namun bagaimana cara mengatasi perubahan tersebut, hal ini sangat tergantung kepada kecermatan pengembang kurikulum itu sendiri. Satu hal yang harus dan mesti diperhatikan adalah bagaimana lembaga pendidikan Islam dapat mengantisipasi masalah ini, tanpa melupakan esensi ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri.

B.    Saran

Demikian makalah tentang Lembaga Pendidikan Islam ini, tentu saja masih banyak sekali kekurangan dari makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.


 

Daftar Pustaka

 

Daulay, H. P. (2001). Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia. Bandung: Ciputat.

Hasan, C. (1994). Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan. Surabaya: al-Ihlas.

Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.

Nata, A. (2010). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Poerwadarminta. (1990). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ramayulis. (2011). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Roqib, M. (2009). ILMU PENDIDIKAN ISLAM Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS.

Salahudin, A. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Tafsir, A. (2010). Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya.



[1] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 2

[2] Chodijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: al-Ihlas, 1994), hlm. 84.

[4] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 277.

[5] Ramayulis, Ilmu Pendidikan, h, 278.

[7] Moh. Roqib, ILMU PENDIDIKAN ISLAM Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 166

[8] Mujib dan Mudzakkir, Ilmu Pendidikan, h. 227

[9] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011). h. 216.

[10] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana,

2010). h. 102.

[11] Mujib dan Mudzakkir, Ilmu Pendidikan, h. 231.

[12] Mujib dan Mudzakkir, Ilmu Pendidikan, h. 231-232.

[13] Nata, Ilmu Pendidikan, h. 195.

[14] Mujib dan Jusuf, Ilmu Pendidikan, h. 234.

[15] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2010), h. 191.

[16] Mujib dan Mudzakkir, Ilmu Pendidikan, h. 235

[17] Mujib dan Mudzakkir, Ilmu Pendidikan, h. 236

[18] Moh. Roqib, ILMU PENDIDIKAN ISLAM Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 174

[19] Moh. Roqib, ILMU PENDIDIKAN ISLAM Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 175

[20] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 618.

[21] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia,(Bandung: Ciputat, 2001), h. 74-75.

[22] Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975, pasal 1.

[23] Daulay, Historis dan Eksistensi, h. 61.